Sebagian Millennial Parents mungkin memiliki memori tentang bentakan dan hukuman fisik di masa kecil. Tak hanya di rumah, dulu hukuman fisik kerap menjadi cara untuk ‘mendisiplinkan’ anak-anak di sekolah.
Beruntung, hukuman fisik tak lagi populer, bahkan dikecam dalam pengasuhan zaman now. Namun, bentakan sering kali menjadi refleks ketika mendapati Si Kecil tak bertindak sesuai arahan. Dengan mempelajari dan menerapkan authoritative parenting, kita pun dapat mengurangi dorongan untuk membentak dan menghukum anak.
Hukuman fisik dan bentakan membuat anak tumbuh dengan rasa takut
Alih-alih menimbulkan rasa hormat, kebiasaan mengasuh anak dengan hukuman fisik dan bentakan malah menimbulkan ketakutan dalam diri anak. Menurut Jessica Joelle Alexander dan Iben Dissing Sandahl, penulis The Danish Way of Parenting, ketegasan dan ketakutan pun merupakan dua hal yang berbeda. Dengan rasa takut, anak:
- tidak selalu tahu alasan nyata ia tidak boleh melakukan sesuatu,
- hanya ingin terhindar dari pukulan maupun bentakan, dan
- mungkin hanya ingin mengatakah hal yang ingin didengarkan oleh orang tua (misal, anak menjadi tertutup dan rentan berbohong).
Sementara, menurut Psikolog Najelaa Shihab, meski memicu kepatuhan sementara, anak-anak yang terbiasa menerima teriakan dan pukulan justru menjadi tak berdaya ketika keduanya tak ada.
Terapkan gaya pengasuhan yang tegas, bukan keras
Lantas, bagaimana membuat anak mau patuh pada orang tua tanpa teriakan maupun hukuman fisik? Jawabannya, mengasuhlah dengan rasa hormat, yakni dengan menerapkan pengasuhan berwibawa (authoritative parenting). Gaya pengasuhan ini menuntut dan mengeset standar tinggi, tapi juga responsif serta mendukung disiplin diri anak. Authoritative parenting bersifat demokratis karena anak diberikan kesempatan untuk mempertanyakan aturan dan orang tua responsif memberikan penjelasannya. Dengan begitu, anak dapat benar-benar menerapkan dan menghargai aturan.
Berbagai trik yang bisa orang tua lakukan dalam menerapkan pengasuhan berwibawa, antara lain sebagai berikut.
- Memberikan anak kontrol terhadap situasi. Contohnya, “Kamu mau pakai baju yang berwarna merah atau biru?”
- Mendeskripsikan hal yang dilihat. Misal, “Ayah/Ibu melihat puzzle-nya tercecer dan belum dimasukkan ke kotaknya.”
- Mengapresiasi usaha anak meski belum selesai. Misal: “Sulit ya, merapikan mainan yang berserakan. Tapi, Ibu senang kamu mau merapikannya.”
- Mendeskripsikan perasaan. Contohnya, “Ibu sedih deh, kalau Kakak pukul-pukul Adik.”
- Bicara tegas, bukan keras. Yakni, dengan nada yang datar dan serius sambil menatap wajah serta mata anak dalam-dalam.
Pahami perkembangan anak
Lihat anak sebagai sosok yang tak bersalah dan berperilaku sesuai perkembangannya. Dengan begitu, orang tua mudah memaafkan ketika anak berbuat kesalahan. Ketimbang menghukum anak, sebaiknya kita menunjukkan cara melakukan sesuatu dengan benar. Terlebih, menurut metode pendidikan Montessori, di rentang usia 0-3 tahun, anak belum bisa membedakan informasi dan kesan yang ia terima tergolong positif atau negatif.
Menerapkan konsekuensi yang tepat ketika anak berbuat kesalahan
Misal, ketika anak melempar-lemparkan mainan, ia harus memungut dan mengembalikannya dulu sebelum mengambil jenis mainan lain.
Membuat kesepakatan bersama anak mengenai aturan dan konsekuensinya
Contohnya, orang tua menyampaikan aturan bahwa tujuan ke mal hanya untuk makan, bukan beli mainan. Kesepakatannya, bila anak minta dibelikan mainan, agenda jalan-jalan disudahi. Jika anak ternyata melanggar, segera laksanakan konsekuensi tersebut.
Studi yang dikutip buku The Danish Way of Parenting menunjukkan, anak-anak dari orang tua yang berwibawa akan menjadi lebih mandiri, diterima secara sosial, sukses dalam akademis, dan berperilaku baik. Mereka juga cenderung terhindar dari depresi juga tidak terlibat pada perilaku antisosial seperti kenakalan remaja atau penggunaan narkoba, lho.
Semoga tips di atas dapat mencegah kita melakukan hukuman fisik maupun bentakan terhadap anak, ya!
0 Komentar