Syeikh Asnawi Agung Caringin Al-Bantani : Waliyullah Abad 20
( The Last Guardian of God )
Ratu Nizma Oman*
"Sebab terpuruknya suatu bangsa adalah karena bermaksiat, jahiliyah, meredupnya iman, mengikuti politik kaum penjajah, serta tindakan kesewenangan merajalela"
(Syeikh Asnawi Agung Caringin Banten).
Waliyullah Terakhir (abad 20)
Syeikh Asnawi dilahirkan pada tahun 1850. Ayahnya bernama Syeikh Abdurrahman, seorang alim ulama dan menjabat sebagai penghulu Landraat di jamannya. Ibunya bernama Ratu Sabi'ah juga seorang alim dan ahli ibadah. Beliau adalah wanita Sholehah yang semasa hidupnya dibaktikan untuk suami dan mengurus anak-anaknya serta diketahui beliau tak pernah meninggalkan tempat sembahyangnya.
Selain keturunan keluarga ulama, ayahanda beliau juga keturunan langsung dari Sultan Agung Mataram sedangkan ibunya memiliki keturunan dari Sultan Maulana Hasanuddin Banten. Sebagaimana sudah diketahui bahwa Sultan Agung Mataram dan Sultan Maulana Hasanuddin Banten keduanya adalah merupakan Sultan atau Raja yang sangat gigih dalam menegakkan, menyebarluaskan serta membela agama Islam. Baik di pulau Jawa dan Nusantara bahkan lintas dunia. Begitu pun dengan Syeikh Asnawi seorang ulama besar yang berpredikat Waliyullah yang juga memiliki Khowariqul 'adah yang amat besar.
Bahkan Presiden Republik Indonesia era reformasi yaitu K. H. Abdurrahman Wahid (Gus Dur) dalam suatu kunjungan kerja ke Banten. Beliau berkata dihadapan para menteri, petinggi pemerintah provinsi Banten, tokoh serta masyarakat Banten bahwa Syeikh Asnawi adalah seorang Waliyullah terakhir di Indonesia. Perkataan itu beliau dengar sendiri dari kakeknya K. H. Hasyim Asy'ari, tokoh pendiri Jam'iyyah Nahdlatul Ulama. Beliau merupakan teman belajar Syekh Asnawi ketika di Mekkah yang juga sangat gigih dalam memperjuangkan syari'at Islam yang kaffah. (Ayip Hamdzu, Syeikh Asnawi 1850-1937, 2004)
Masa Kecil
Syeikh Asnawi terlahir sebagai anak yang pandai, kecerdasan diatas rata-rata anak seusianya bahkan bisa dikatakan sebagai bocah jenius. Ayahnya sangat menyayanginya dan menaruh harapan yang besar agar putranya kelak menjadi seorang yang shaleh dan pemimpin ummat. Mula-mula ayahnya lah yang mengajari beliau ilmu Al Qur'an dan ilmu lainnya dengan disiplin yang ketat. Syeikh Asnawi sangat senang belajar namun sebagai seorang bocah tentu saja beliau juga kadang dihinggapi rasa malas. Ayahnya tak ingin rasa malas yang datang dari syetan itu menjangkiti putranya. Maka ayahnya tak segan memarahi bahkan menghukumnya dengan cukup keras. Yaitu direndam di balungbang (kolam) masjid bahkan dilempar ke atap masjid untuk menjemurnya. Namun syekh Asnawi tidak merasa menyesal malahan beliau menyadari itu adalah hukuman atas kelalaiannya dan akhirnya semakin termotivasi untuk lebih baik lagi.
Pada usia 11 tahun Syeikh Asnawi telah mampu menghafal Al-Qur'anul Karim berikut maknanya dengan sempurna. Begitupun dengan disiplin ilmu lainnya dapat diserap dengan baik sejalan dan sepaham nyaris tanpa cacat. Lalu pada usia masih muda, ayahnya mengirimnya ke Mekkah untuk belajar kepada para guru yang lebih mumpuni di tanah suci. Syekh Asnawi sangat gembira sehingga beliau tak sabar ingin berangkat ke Mekkah. Lalu beliau dititipkan kepada nahkoda kapal yang akan berangkat ke Mekkah. Perjalanan pada waktu itu dari nusantara menempuh jarak selama satu tahun.
Gurunya di Mekkah adalah seorang alim ulama ahli Al-Qur'an yang bernama Syeikh Hasabullah Al A'ma. Juga berguru kepada Syeikh Akhmad Khatib Assambasy, seorang ulama besar yang berasal dari Kalimantan di bidang Tasawuf, Tarekat Qadariyah wa Naqsabandiyah. Setelah Syeikh Assambasy wafat kemudian diteruskan kepada Syeikh Abdul Karim Attanara. Selanjutnya kepada seorang Imam yang berasal dari Banten yaitu Syeikh Nawawi al-Bantani.
Disana beliau belajar bersama murid-murid dari nusantara. Diantaranya adalah K. H. Tb. M. Wasi, Yang kelak menjadi besan Syeikh Asnawi karena putra beliau K. H. Tb. Achmad Chatib menikah dengan putri Syeikh Asnawi yaitu Ratu Iyot Hasanah. Selain itu, beberapa teman belajar Syeikh Asnawi adalah K. H. Hasyim Asy'ari, K. H. Achmad Dahlan dan K. H. Kholil Bangkalan.
Kurang lebih selama 6 tahun beliau belajar di tanah suci. Kemudian datang kabar duka yang mengabarkan bahwa ayahandanya telah berpulang ke rahmatullah serta beliau diharapkan pulang. Maka dengan berat hati beliau berpamitan kepada guru dan teman-temannya untuk kembali pulang ke tanah air. (Ayip Hamdzu, Syeikh Asnawi 1850-1937, FKKBSA, 2004)
Masa Dakwah
Setelah kembali ke tanah air, Syeikh Asnawi mulai berdakwah kepada masyarakat. Sementara itu masyarakat di daerahnya dan sekitarnya masih banyak yang melakukan perbuatan maksiat secara terang-terangan. Syeikh Asnawi menilai bahwa selain kebodohan (jahiliyah) Masyarakat setempat dan rapuhnya sendi keimanan di dada mereka. Mereka juga terpengaruh oleh gerakan politik pihak Belanda yang berusaha menciptakan suasana hirarki, chaos di segala bidang kehidupan masyarakat sehingga tindak kesewenang-wenangan, suap, perjudian, pelacuran, mabuk - mabukan, penjarahan dan pembunuhan serta berbagai bentuk kemungkaran merajalela tak terbendung.
Syeikh Asnawi walaupun sudah syarat ilmu namun beliau masih muda. Beliau pun menyadari dan akhirnya beliau sering berdiskusi dengan para alim ulama yang tersebar di seluruh negeri. Kemudian beliau menikah pada usia 20 tahun dengan Ratu Halimah, putri seorang pejabat Kabupaten Banten Kulon (Caringin) yaitu Patih Rasinah. Setelah menikah Syeikh Asnawi semakin meningkatkan dakwahnya dan beliau mendirikan Pesantren dan lembaga pendidikan yaitu Madrasah Masyarikul Anwar Caringin pada Tanggal 12 Mei 1930.
Beliau membina dan menata kembali masyarakat Caringin ke arah jalan yang lurus melalui dakwah yang baik tanpa henti. Sosok beliau juga sangat rendah hati dan peduli terhadap ummat menjadi panutan masyarakat. Bukan saja sebatas kabupaten Caringin tapi juga menembus banyak daerah di Nusantara hingga manca negara. Beliau juga memiliki khowariqul'adah yang besar oleh karena itu beliau diyakini sebagai Waliyullah yang paling berpengaruh di abad 20 saat itu. Banyak orang datang kepada beliau untuk belajar, meminta doa, nasihat dll. Diantara para pejabat yang datang adalah seorang Regen yang bernama Rd. Hilman Djajadiningrat bersama kakaknya Prof. Dr. Hoesein Djajadiningrat serta Mr. Gobe pejabat tinggi masalah keagamaan dari Batavia. Selain itu dari Bandung, Jogjakarta, Semarang, Surabaya, Palembang, Padang, Aceh, Kalimantan, Maluku, dan NTB. Dari mancanegara tercatat ada yang dari Mekkah, Mesir, Yaman, Irak, Pakistan, India, Malaysia dan Rusia.
Kebiasaan beliau menerima tamu adalah dari setelah beliau melaksanakan shalat dhuha hingga menjelang dhuhur setiap harinya. Diluar waktu tersebut dipergunakan untuk bercengkrama dengan keluarganya dan selebihnya untuk Taqorub'alallah dan berdzikir.
Menurut buku yang ditulis Ayip Hamdzu dan penuturan kasepuhan Caringin, cucu Syeikh Asnawi, Ayip Ali, menjelaskan bahwa Syekh Asnawi juga mulai merehabilitasi Masjid Agung Banten yang kala itu kondisinya sudah amat parah. Atas permintaan keluarga Sulthan Banten, Syeikh Asnawi segera mengumpulkan masyarakat untuk bergotong royong memperbaiki masjid tersebut. Beliau pun pergi ke Lampung, Palembang dan Kalimantan untuk mencari kayu yang kokoh sambil menyebarluaskan agama Islam disana. Setelah selesai memperbaiki masjid dengan kayu dari luar daerah tersebut. Beliau hijrah ke Mekkah pada tahun 1912 bersama keluarga dan pembantu-pembantunya. Namun tidak lama karena ada perang dan akhirnya mereka pulang kembali ke nusantara.
Masa Perjuangan
Pada tahun 1926, pada saat suhu perjuangan menentang pemerintah kolonial Belanda memuncak. Syeikh Asnawi beserta para ulama di Banten mendirikan laskar yang dinamai Laskar Mujahidin. Syeikh Asnawi melakukan sabotase dan menyerbu kantor pos Telepon dan Teleghrap (PTT) di Jakarta dan mengobrak-abrik peralatan serta memutuskan kabel telepon sehingga komunikasi ke Banten menjadi terhenti. Syeikh Asnawi menganggap bahwa alat komunikasi ini memang harus segera dimusnahkan demi kepentingan dan strategi perjuangan dalam melancarkan perlawanan terhadap pemerintahan kolonial Belanda yang semakin hari semakin semena-mena terhadap rakyat. Sementara itu putranya K. H. Emed Ahmad Hadi dan menantunya K. H. Tb. Achmad Chatib sebagai panglima dari laskar Mujahidin. Sementara Ki Emed adalah ketua seksi logistik.
Pada tanggal 15 November 1926, para pejuang pergerakan kemerdekaan dan Laskar Mujahidin menyerang konvoi serdadu Belanda di jembatan Sanggoma Caringin Labuan Banten. Perlawanan rakyat yang pada awalnya akan dilaksanakan di seluruh nusantara namun akhirnya hanya dilancarkan dibeberapa kota termasuk di Banten yang paling gencar mengadakan perlawanan. Terjadi Pertempuran hebat dengan diawali pelemparan granat tangan ke arah serdadu Belanda sehingga menewaskan lima orang dan belasan lainnya terluka.
Serdadu Belanda membalas dengan tembakan sehingga banyak yang gugur dan terluka dari pihak Mujahidin dan pejuang. Termasuk Komandan Mujahidin H. Sali dan wakilnya Amad. Mereka yang syahid kemudian di makamkan di pinggir sungai Sanggoma secara massal. Pada keesokan harinya, pemerintah Hindia Belanda menerjunkan ratusan serdadunya mengejar dan menangkap para pejuang dan anggota Laskar Mujahidin. Syeikh Asnawi dan anggota keluarganya ditangkap dan diasingkan ke Jakarta dan setahun kemudian diasingkan ke Cianjur selama tiga tahun lamanya.
Menurut catatan KH. Tb. A. Suchari Chatib, cucunya Syeikh Asnawi. Konon Ki Chatib menantunya dan putranya Ki Emed tertangkap setelah Belanda mengancam akan membantai warga dan membakar rumah mereka. Kemudian atas perintah Syeikh Asnawi, para pejuang akhirnya keluar dari persembunyiannya. Jadi Belanda berhasil menangkap mereka karena pemerintah kolonial itu mengancam rakyat. Sedangkan menurut Michael Williams dalam bukunya “Palu Arit dan Bulan Sabit”, mengatakan ada 99 orang yang ditangkap Belanda dan dibuang ke Digul Irian barat. Sedangkan wakil panglima yaitu Ki Moekri Karobohong berhasil meloloskan diri ke Mekkah.
Perlawanan para ulama dan rakyat yang disebut oleh pemerintah kolonial Belanda sebagai pemberontakan ini, sangat menyusahkan pemerintah Belanda. Sebab pimpinannya adalah seorang ulama yang paling berpengaruh di abad 20 yaitu Syeikh Asnawi Caringin al Bantani. Sehingga ketika mereka menahan Syeikh Asnawi di penjara maka sel tahanan itu setiap hari sangat ramai dikunjungi oleh ribuan jemaah. Koloni Belanda tidak bisa mengasingkan beliau ke pulau yang jauh di Menado sebab masyarakat pada saat itu melakukan gelombang protes sehingga Syeikh Asnawi hanya diasingkan ke Cianjur daerah Jawa barat yang letaknya tidak terlalu jauh dari Banten. Konon Syeikh Asnawi melanjutkan dakwahnya walaupun di dalam penjara dan di masa pengasingannya. Pemerintah kolonial tidak dapat menyentuh beliau dan meredupkan pengaruhnya khususnya di wilayah Banten dan sekitarnya. Bahkan ketika masa pengasingan, seluruh keluarga besarnya yang terdiri dari anak, istri, cucu, pembantu-pembantunya dan murid-muridnya ikut serta menemani beliau di Cianjur.
Api semangat perjuangan rakyat Banten memang tak pernah berhenti untuk menentang tindakan sewenang-wenang pemerintah kolonial Belanda. Perjuangan Rakyat Banten telah dilancarkan sejak jaman Sulthan Ageng Tirtayasa berkuasa dengan secara terbuka berperang melawan pasukan Belanda hingga titik darah penghabisan. Kemudian setelah runtuhnya kekuasaan kesultanan Banten pun perjuangan itu terus dilancarkan oleh para tokoh dan pemimpin ummat yang didukung oleh kaum bangsawan, jawara dan segenap rakyat Banten.
Akhir Hayat
Peninggalan syeikh Asnawi yang masih dapat dilihat dan dirasakan manfaatnya hingga hari ini adalah sebuah Masjid Agung Caringin dan Madrasah Masyarikul Anwar yang terletak di Kampung Caringin Kecamatan Labuan.
Kemudian pada hari Rabu pagi tahun 1937, saat itu Syeikh Asnawi tengah melakukan shalat Dhuha, saat itu pula Allah Swt. Memanggil hambanya itu pulang keharibaanNya. Innalilahi wa innailaihi Raji'un.
0 Komentar