Sejumlah daerah di Indonesia yang banyak terdapat warga etnis Tionghoa, merayakan Cap Go Meh dengan penuh suka cita dan besar-besaran, salah satu di antaranya adalah di Singkawang, Kalimantan Barat (Kalbar).
Tokoh masyarakat Tionghoa Kalbar, XF Asali, dalam bukunya yang berjudul Aneka Budaya Tionghoa Kalimantan Barat, menjelaskan Cap Go Meh berasal dari kata dialek Hokkien/Tio Ciu. Kata "Cap go" berarti lima belas dan kata "Meh" berarti malam. Sehingga Cap Go Meh artinya malam ke lima belas.
Di Tiongkok, negeri leluhur etnis Tionghoa Indonesia, menyebutnya sebagai perayaan Yuan Shiau Ciek yakni festival malam bulan satu.
Saat masa Dinasti Tung Han, Kaisar Liu Chang (Han Min Tie) merayakan festival ini untuk menghormati Sang Budha Sakyamuni yang menampakkan diri pada tanggal 30, bulan 12 Imlek di daratan barat. Kemudian ditafsirkan sama dengan tanggal 15 bulan 1 Imlek di daratan Timur.
Kaisar memerintahkan rakyatnya agar sembahyang syukuran, arak-arakan, memasang lampion, atraksi kesenian rakyat seramai mungkin pada malam hari tersebut.
Kegiatan itu berlanjut secara turun-temurun sampai sekarang. Kegiatan ini masih diperingati etnis Tionghoa di Indonesia yang menganut Sam Kaw atau Tri Dharma sebagai hari raya religius umat Taoisme, Budha, dan Kong Hu Cu. Sedangkan untuk etnis Tionghoa lainnya, dirayakan sebagai hari raya tradisi budaya Yuan Shiau Ciek atau Cap Go Meh.
Festival Cap Go Meh di Indonesia diadakan sebagai penutup perayaan tahun baru. Di banyak daerah, perayaan ini diisi atraksi permainan naga dan barongsai. Juga ada karnaval kendaraan berhias lampion atau bentuk event lainnya sesuai kekhasan di daerah setempat.
Mengenai adanya tatung atau lauya yang kerasukan roh leluhur, muncul dalam versi lain cerita rakyat, yakni saat Dinasti Tung Zhou sekitar tahun 770 SM-256 SM.
Ketika itu, para petani memasang lampion di sekeliling ladang untuk mengusir hama dan menakuti binatang perusak tanaman. Kemudian ditambahi dengan segala bunyi-bunyian, bermain barongsai, dan arak-arakan tatung sebagai tolak bala serta supaya lebih ramai.
Kepercayaan dan tradisi budaya itu, berlanjut dan berkembang terus baik di daratan Tiongkok maupun di perantauan di seluruh dunia, sesuai kondisi dan situasi di negara masing-masing, hingga ke Indonesia.
Tatung di Singkawang
Kota Singkawang dimana masih banyak warga etnis Tionghoa yang kental dengan tradisi leluhur, menyambut Festival Cap Go Meh dengan penampilan para tatung.
Tatung melakukan ritual "cuci jalan" pada hari ke-14 Imlek. Cuci jalan artinya membersihkan jalan dari roh-roh jahat agar kota itu aman selama setahun ke depan. Ritual cuci jalan dimulai dengan persiapan di kelenteng saat pagi setelah matahari terbit sekitar pukul 05.30 WIB.
Persiapan di kelenteng atau pekong selesai ditandai dengan seorang dukun yang semula sadar, kemudian sudah kerasukan roh leluhur, tandu pembawa siap dengan pemikulnya, maka arak-arakan tatung dapat dilakukan.
Arak-arakan tatung keliling kota membersihkan jalan berlangsung hingga tengah hari. Kemudian berlanjut pada malam hari menjelang hari ke lima belas Imlek.
Ada tatung yang cukup berjalan kaki saat melakukan cuci jalan. Tetapi ada tatung yang mesti dibawa dengan tandu yang dipikul 8 hingga 16 orang. Tatung ini keliling kota sambil membaca doa pengusir roh jahat. Dia singgah di beberapa pekong atau kelenteng untuk memberikan penghormatan. Mereka menunjukkan kemampuan tahan terhadap benda tajam dan runcing.
Tradisi inilah yang masih dapat dijumpai saat Cap Go Meh di Singkawang.
Kemampuan menjadi tatung, bisa diturunkan dari satu generasi ke generasi berikutnya. Namun hanya orang-orang tertentu yang bisa kerasukan roh leluhur tersebut.
0 Komentar