Ada 5 alat bukti dalam hukum acara perdata, yakni surat, saksi, persangkaan-persangkaan, pengakuan, dan sumpah.
Apa saja alat bukti dalam hukum acara perdata? Dalam hukum acara perdata, dikenal dengan adanya lima alat bukti. Lima alat bukti dalam hukum acara perdata yang dimaksud, antara lain alat bukti surat, alat bukti saksi, alat bukti persangkaan, alat bukti pengakuan, dan alat bukti sumpah. Berikut ulasan selengkapnya.
Alat Bukti Surat atau Akta
Sudikno Mertokusumo dalam Hukum Acara Perdata Indonesia membedakan definisi surat dan akta. Surat diartikan sebagai sesuatu yang memuat tanda-tanda bacaan yang dimaksudkan untuk menyampaikan buah pikiran seseorang, di mana buah pikiran tersebut dapat dipergunakan sebagai pembuktian.
Sementara itu, akta adalah tulisan yang diberi tanda tangan yang memuat peristiwa yang menjadi dasar daripada suatu hak atau perikatan yang sejak awal dibuat untuk suatu pembuktian. Dalam KUH Perdata, akta terbagi atas dua jenis, yakni akta autentik dan akta bawah tangan.
Ketentuan Pasal 1868 KUH Perdata menerangkan bahwa akta autentik adalah suatu akta yang dibuat dalam bentuk yang ditentukan undang-undang oleh atau di hadapan pejabat umum yang berwenang untuk itu di tempat akta itu dibuat.
Adapun mengenai akta bawah tangan, Pasal 1874 KUH Perdata mengartikan akta bawah tangan adalah akta yang ditandatangani di bawah tangan, surat, daftar, surat urusan rumah tangga dan tulisan-tulisan yang lain yang dibuat tanpa perantaraan seorang pejabat umum.
Terkait kekuatan pembuktian akta bahwa tangan lebih lanjut, sebagaimana diatur dalam Pasal 1875 KUH Perdata, akta bawah tangan bisa saja memiliki kekuatan pembuktian yang sama dengan akta autentik, asalkan akta bawah tangan tersebut diakui kebenarannya oleh orang yang menandatanganinya.
Alat Bukti Saksi
Sri Wardah dan Bambang Sutiyoso dalam Hukum Acara Perdata dan Perkembangannya di Indonesia menerangkan kesaksian atau saksi adalah keterangan pihak ketiga yang bukan pihak-pihak berperkara di persidangan untuk memberikan kepastian kepada hakim tentang peristiwa yang disengketakan, secara lisan dan pribadi serta mengenai hal yang dialaminya dan diketahuinya sendiri.
Ketentuan pasal 1909 KUH Perdata menerangkan bahwa semua orang yang cakap untuk menjadi saksi wajib memberikan kesaksian di muka hakim. Namun, dalam Pasal 1910 dan Pasal 1912 KUH Perdata menerangkan bahwa ada sejumlah orang yang dilarang menjadi saksi, yakni:
- keluarga sedarah atau semenda salah satu pihak dalam garis lurus;
- suami atau istri, meskipun telah bercerai;
- anak yang belum genap 15 tahun;
- orang yang berada di bawah pengampuan karena dungu atau gila; dan
- orang yang atas perintah hakim telah dimasukkan dalam tahanan selama perkara diperiksa pengadilan
Alat Bukti Persangkaan
Pasal 1915 KUH Perdata menerangkan bahwa persangkaan adalah kesimpulan yang oleh undang-undang atau oleh hakim ditarik dari suatu peristiwa yang diketahui umum ke arah suatu peristiwa yang tidak diketahui umum. Kemudian, persangkaan terbagi atas persangkaan berdasarkan undang-undang dan persangkaan yang tidak berdasarkan undang-undang.
Terkait persangkaan yang tidak berdasarkan undang-undang, diterangkan dalam Pasal 173 HIR bahwa persangkaan yang tidak didasarkan atas suatu undang-undang hanya boleh diperhatikan oleh hakim dalam mempertimbangkan suatu perkara, kalau persangkaan-persangkaan itu penting, seksama, tertentu dan bersesuaian satu sama lain.
Dari sejumlah ketentuan dalam bagian Penjelasan Pasal 173 HIR, dapat disimpulkan bahwa sederhananya, persangkaan yang tidak berdasarkan undang-undang adalah kesimpulan-kesimpulan yang diambil oleh hakim dari suatu kejadian atau keadaan yang telah terbukti, sehingga dapat menjelaskan suatu kejadian atau keadaan yang tidak terbukti.
Kemudian, terkait persangkaan berdasarkan undang-undang, Pasal 1916 KUH Perdata menerangkan bahwa persangkaan berdasarkan undang-undang adalah persangkaan yang dihubungkan dengan perbuatan tertentu atau peristiwa tertentu berdasarkan ketentuan undang-undang. Persangkaan jenis ini, antara lain:
- perbuatan yang dinyatakan batal oleh undang-undang, karena perbuatan itu semata-mata berdasarkan dari sifat dan wujudnya, dianggap telah dilakukan untuk menghindari suatu ketentuan undang-undang;
- pernyataan undang-undang yang menyimpulkan adanya hak milik atau pembebasan utang dari keadaan tertentu;
- kekuatan yang diberikan oleh undang-undang kepada suatu putusan Hakim yang memperoleh kekuatan hukum yang pasti; dan
- kekuatan yang diberikan oleh undang-undang kepada pengakuan atau kepada sumpah salah satu pihak.
Alat Bukti Pengakuan
Alat bukti pengakuan diatur dalam Pasal 174, 175, dan 176 HIR. Dalam Pasal 174 HIR dan penjelasannya diterangkan bahwa pengakuan dapat diklasifikasikan atas pengakuan di muka hakim dan pengakuan di luar sidang (Pasal 175).
Adapun pengakuan di muka hakim ini, baik yang diucapkan sendiri maupun melalui kuasanya, dianggap sebagai bukti yang cukup dan mutlak. Dengan kata lain, hakim haruslah menerima pengakuan itu sebagai bukti yang cukup.
Sementara itu, pengakuan di luar sidang dianggap sebagai bukti yang bebas, yang mana kekuatan pembuktian dari pengakuan ini diserahkan kepada pertimbangan dan pendapat hakim.
Kemudian, dalam ketentuan Pasal 176 HIR diterangkan bahwa setiap pengakuan harus diterima secara bulat dan hakim tidak boleh menerima sebagian atau menolak sebagian pengakuan yang bisa merugikan orang yang mengaku itu, kecuali orang yang berutang itu dengan maksud akan melepaskan dirinya, menyebutkan perkara yang terbukti bahwa perbuatan atau kejadian tersebut adalah palsu.
Sementara itu, dalam KUH Perdata, pengakuan sebagai alat bukti hukum acara perdata diatur dalam Pasal 1926 KUH Perdata yang menerangkan bahwa suatu pengakuan yang diberikan di hadapan Hakim tidak dapat dicabut kecuali bila dibuktikan bahwa pengakuan itu diberikan akibat suatu kekeliruan mengenai peristiwa-peristiwa yang terjadi. Dengan alasan terselubung yang didasarkan atas kekeliruan-kekeliruan dalam menerapkan hukum, pengakuan tidak dapat dicabut.
Alat Bukti Sumpah
Terkait sumpah sebagai alat bukti hukum acara perdata, ketentuan pasal 1929 KUH Perdata menerangkan bahwa dua macam sumpah yang dapat disampaikan di hadapan Hakim, yakni:
- sumpah yang diperintahkan oleh pihak yang satu kepada pihak yang lain untuk pemutusan suatu perkara; sumpah itu disebut sumpah pemutus; dan
- sumpah yang diperintahkan oleh Hakim karena jabatan kepada salah satu pihak.
Yahya Harahap dalam Hukum Acara Perdata tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian, dan Putusan Pengadilan menerangkan bahwa sumpah sebagai alat bukti hukum acara perdata adalah suatu keterangan atau pernyataan yang dikuatkan atas nama Tuhan, dengan dua tujuan.
Pertama, agar orang yang bersumpah dalam memberi keterangan atau pernyataan itu takut atas murka Tuhan apabila dia berbohong. Kedua, takut kepada murka atau hukuman Tuhan dianggap sebagai daya pendorong bagi yang bersumpah untuk menerangkan yang sebenarnya.
Lebih lanjut, Yahya Harahap menerangkan bahwa sumpah sebagai alat bukti dalam hukum acara perdata terdiri atas:
- Sumpah pemutus atau decisoir eed adalah sumpah yang oleh pihak yang satu (boleh penggugat atau tergugat) diperintahkan kepada pihak yang lain untuk menggantungkan pemutusan perkara atas pengucapan atau pengangkatan sumpah.
- Sumpah tambahan atau suppletoir eed adalah sumpah yang disampaikan jika alat bukti yang diajukan tidak mencukupi dan dilakukan atas perintah hakim.
- Sumpah penaksir atau aestimatoire eed adalah salah satu alat bukti sumpah yang secara khusus diterapkan untuk menentukan berapa jumlah nilai ganti rugi atau harga barang yang digugat oleh penggugat.
0 Komentar